Makalah Filsafat Ilmu Epistimologi
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Epistemologi
Epistomologi
atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan
lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Secara linguistik kata
“Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan
arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi
dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris
dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara
etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa
Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah
teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Masalah
utama dari epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan,
Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup
menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi artinya pertanyaan epistemologi
dapat menggambarkan manusia mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan
eksistensi epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia berpengetahuan
yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan
dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu
manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara satu
ilmu dengan ilmu yang lainnya.
B.
Objek dan Tujuan Epistemologi
Kehidupan masyarakat sehari-hari,
tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya
menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak
sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran sedangkan tujuan hampir sama
dengan harapan. Meskipun berbeda, tetapi antara objek dan tujuan memiliki
hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya
tujuan.
Sebagai sub sistem filsafat,
epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh Plato
ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S.
Suriasuamantri berupa “ segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk
memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi
sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya
tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui
dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya
tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang menjadi
tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “ tujuan epistemologi
bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu,
tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.”hal ini
menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan
kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat
perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting dari itu, yaitu
ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut
memiliki makna strategis dalam dinamika pengetuhuan. Rumusan tersebut
menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai kita puas dengan sekedar
memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh
pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif,
sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.
C.
Landasan
Epistemologi
Landasan epistemologi ilmu disebut
metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang
benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan
lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu
merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut
ilmu yakni tercantum dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam tataran
transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya
pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat bergantung pada metode
ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar
pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif. Pengetahuan yang
diperoleh oleh manusia melalui akal, indera mempunyai metode tersendiri dalam
teori pengetahuan,diantaranya adalah:
1. Metode induktif
Induksi
merupakan suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi
disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Menurut David Hume
(1711-1716), pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal betapa pun besar
jumlahnya, secara logis tidak dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak
terbatas.
2. Metode Deduktif
Deduksi
merupakan suatu metode yang menyimpulkan
bahwa data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang
runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan
logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.
3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August
Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang
faktual, yang positif. Ia menyampaikan segala uraian atau persoalan di luar
yang ada sebagai fakta.
Menurut
Comte perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu
teologis, metofisis, dan positif.
4. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya
keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan sehingga
objek yang dihasilkan pun berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan
akal yang disebut dengan intuisi.
5. Metode Dialektis
Merupakan metode tanya jawab untuk
mencapai kejernihan filsafat.
Epistemologi mempunyai 3 bagian yaitu :
A. LOGIKA
Logika merupakan sub-bagian dalam studi Epistemologi. Dalam
mempelajari Epistemologi tidak boleh mengabaikan logika, karena dasar
pertanyaan dari Epistemologi ialah “bagaimana”. Logika disini berperan dalam
menjawab sebuah gejala secara rasio atau nalar dengan membuat formalisasi.
Contohnya.
Hukum
logika merupakan dasar teori yang sudah diketahui selama ribuan tahun. Bila
implikasi B (disebut consequens juga) dari hipotesis B (disebut antecendens
juga) maka belum tentu bahwa A (yang lebih umum dari pada B) itu benar,
tetapi bila hanya satu kali saja implikasi A tidak terjadi, maka A telah
dibuktikan salah.
Menurut
Karl Raimund Popper, semua hukum itu alam, malahan segala teori ilmu alam
pun, tidak pernah dapat mencapai lain kedudukan dari hipotesis, yaitu percobaan
saja dan selama usaha agar hipotesis-hipotesis yang bersangkutan dibuktikan
salah dapat terjadi, selama itu pula ilmu alam berkembang dan disempurnakan.
Popper berpendapat demikian karena, suatu hipotesis bila terbukti salah, maka
harus ditinggalkan dan diganti dengan hipotesis yang baru. Kedua jika salah
satu usur hipotesis ternyata dibuktikan salah, maka unsur tersebut ditinggalkan
dengan mempertahankan inti hipotesis untuk disempurnakan. Terakhir sebuah
hipotesis masih bertahan sebelum dapat dibuktikan salah.
B. PENGETAHUAN
Banyak
pihak yang menyatakan bahwa hanya jenis pengetahuan tertentu yang benar-benar
layak disebut pengetahuan. Hal yang demikian dilakukan Bertrand Russel ketika
mengkhususkan kata ini hanya untuk pengetahuan sains, sedangkan yang lain
dianggap mendekati ilmiah.
Meskipun
pernyataan Russel ini terdengar masuk akal, namun bertentangan dengan maksud
Epistemologis, sebab Russel mengambil keputusan dengan meyakini keunggulan
sains diatas pengetahuan yang lain. Sebaliknya, filsafat pengetahuan adalah
keterbukan macam-macam makna “pengetahuan”. Membuka setiap kemungkinan serta
setiap cara-cara memperoleh pengetahuan disebut “pengetahuan”.
Setidaknya
segala peradaban di dunia ini ada karena pengetahuan, baik itu pengetahuan
tentang alam, atau pun perenungan. Para filsuf terdahulu megawali filsafat
melalui perenungan untuk mencari hakikat kebenaran, di masa itu kebenaran masih
bersifat relatif (individu). Banyak cara dalam memperoleh pengetahuan, baik
dengan pemikiran Rasionalisme, Empirisme, Strukturalisme, dan lain-lain. Selain
bentuk pemikiran, terdapat pula pola dalam menjelaskan hasil berpikir sesuai
gejala yang timbul.
1. Kebenaran
Pengetahuan
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang kebenaran
(Surajiyo, 2008) antara lain sebagai berikut :
1. The correspondence theory of truth
(Teori Kebenaran Saling Berkesesuian). Berdasarkan teori pengetahuan
Aristoteles yang menyatakan bahwa kebenaran itu berupa kesesuaian antara arti
yang dimaksud dengan faktanya.
2. The Semantic Theory of Truth (Teori
Kebenaran berdasarkan Arti). Berdasarkan Teori Kebenaran Semantiknya Bertrand
Russell, bahwa kebenaran (proposisi) itu ditinjau dari segi arti atau maknanya.
3. The consistence theory of truth
(Teori Kebenaran berdasarkan Konsisten). Menurut teori ini, suatu pernyataan
dianggap benar bila pernyataan itu bersifat konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
4. The pragmatic theory of truth (Teori
Kebenaran berdasarkan Pragmatik). Yang dimaksud dengan teori ini ialah bahwa
benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata tergantung kepada
faedahnya bagi manusia dalam kehidupannya.
5. The Coherence Theory of Truth(Teori
Kebenaran berdasarkan Koheren) Berdasarkan teori Koherennya Kattsoff (1986)
dalam bukunya Element of Philosophy, bahwa suatu proposisi itu benar, apabila
berhubungan dengan ide-ide dari proposisi terdahulu yang benar.
6. The Logical Superfluity of Truth
(Teori Kebenaran Logis yang berlebihan). Berdasarkan teori yang dikembangkan
oleh Ayer, bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan
berakibatkan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan
kebenarannya memiliki derajat logis yang sama dan masing-masing saling
melingkupi.
7. Teori Skeptivisme, suatu kebenaran
dicari ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
8. Teori Kebenaran Nondeskripsi. Teori
yang dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme, yang menyatakan bahwa
suatu pernyataan mempunyai nilai benar tergantung pada peran dan fungsi dari
pada pernyataan itu.
Kebenaran dapat dibuktikan secara : Radikal (Individu),
Rasional (Obyektif), Sistematik (Ilmiah), dan Semesta (Universal). Andi Hakim
Nasution dalam bukunya Pengantar ke Filsafat Sains, bahwa kebenaran mempunyai
tiga tingkatan, yaitu haq al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan ‘ilm al-yaqin. Adapun
kebenaran menurut Anshari mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1) Kebenaran wahyu,
2) Kebenaran spekulatif filsafat,
3) Kebenaran positif ilmu pengetahuan,
4) Kebenaran pengetahuan biasa.
Pengetahuan
yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang
pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan
mungkin salah.
2. Terjadinya
Pengetahuan
Ada
lima sumber pengetahuan:
1) Otoritas, yang terdapat dalam
enseklopedi, buku teks yang baik, rumus, dan tabel;
2) Common sense, yang ada pada adat dan
tradisi;
3) Intuisi yang berkaitan dengan
perasaan ;
4) Pikiran untuk menyimpulkan hasil
pengalaman;
5)
Pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan
secara ilmiah.
Menurut John Hospers dalam bukunya An Introduction to
Philosophical Analysis, mengemukakan ada enam alat untuk memperoleh
pengetahuan, yaitu :
1)
Pengalaman Indra (sense experience)
2)
Nalar (reason)
3)
Otoritas (authority)
4)
Intuisi (Intuition)
5)
Wahyu (revelation)
6)
Keyakinan (faith)
C. ILMU
Dalam ilmu, orang berusaha mematangkan
pengetahuan dengan memenuhi tolak ukur yang sesuai. Hal ini merupak sebuah cara
dalam merumuskan tujuan penyelidikan ilmiah. Dalam memperoleh ilmu hendaknya
tahu terlebih dari dahulu. Hal ini dikarenakan ilmu muncul akibat keragu-raguan
yang dipikir secara reflektif. Pemikiran secara reflektif ini disebut
pengetahuan yang dapat berubah menjadi ilmu jika dilakukan penyelidikan atau
pembuktian secara ilmiah. Contohnya dalam tata surya, orang terdahulu
menganggap matahari mengelilingi bumi, pernyataan seperti ini disebut
pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman. Pernyataan diatas masih
memdapatkan pertimbangan karena belum terbukti secara ilmiah, ketika kenyataannya berbeda dan dapat
dibuktikan secara ilmiah bisa disebut sebagai pengetahuan dan ilmu. Dalam studi
ilmiah disebut Ilmu Astronomi.
Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah merupakan sekumpulan pegetahuan
yang disusun secara konsisten serta teruji kebenarannya secara empiris
dalam menjelaskan berbagai gejala alam
yang memungkinkan manusia untuk melakukan tindakan dalam menguasai gejala
tersebut sesuai penjelasan yang ada.
Dengan
definisi demikian, maka akan timbul pertanyaan? Apakah pengetahuan yang teruji
secara ilmiah namun tidak bisa dijadikan sebuah ketetapan dapat dikatakan ilmu?
Ilmu menurut pengertian secara umum ialah semua pengetahuan yang dapat diuji
kebenarannya serta pasti. Bagaimana dengan sejarah? Apakah itu termasuk dalam
golongan ilmu atau humaniora? Hal seperti sejarah sulit sekali dicari
kebenarannya, sebab penggunaan data sejarah sering kali merupakan penuturan
orang, bisa saja orang itu berbohong.
DAFTAR PUSTAKA
Dirdjosisworo, Soedjono. 1985. Pengantar
Epistemologi dan Logika. Bandung: Remaja Karya.
Gie,
The Liang. 2012. Pengantar Filsafat Ilmu.
Yogakarta: Liberty Yogyakarta.
Hadi,
Hardono. 1994. Epistemologi Filasafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius,
Surjiyo.
2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.
Jakarta: Bumi Aksara.
Suparno, Paul.
1997. Filsafat Konstruktivisme dalam
Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.