Makalah Filsafat Ilmu Epistimologi

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Epistemologi
Epistomologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Masalah utama dari epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan, Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya.

B.     Objek dan Tujuan Epistemologi
Kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran sedangkan tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda,  tetapi antara objek dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “ segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “ tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.”hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetuhuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai kita puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.  

C.    Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yakni tercantum dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan  sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan,diantaranya adalah:

1. Metode induktif
            Induksi merupakan suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Menurut David Hume (1711-1716), pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal betapa pun besar jumlahnya, secara logis tidak dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak terbatas.
2. Metode Deduktif
            Deduksi merupakan  suatu metode yang menyimpulkan bahwa data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.
3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia menyampaikan segala uraian atau persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Menurut Comte perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu teologis, metofisis, dan positif.
4. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan sehingga objek yang dihasilkan pun berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi.
5. Metode Dialektis
Merupakan metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat.

Epistemologi mempunyai 3 bagian yaitu :
A.    LOGIKA
Logika merupakan sub-bagian dalam studi Epistemologi. Dalam mempelajari Epistemologi tidak boleh mengabaikan logika, karena dasar pertanyaan dari Epistemologi ialah “bagaimana”. Logika disini berperan dalam menjawab sebuah gejala secara rasio atau nalar dengan membuat formalisasi. Contohnya.
Hukum logika merupakan dasar teori yang sudah diketahui selama ribuan tahun. Bila implikasi B (disebut consequens juga) dari hipotesis B (disebut antecendens juga) maka belum tentu bahwa A (yang lebih umum dari pada B) itu benar, tetapi bila hanya satu kali saja implikasi A tidak terjadi, maka A telah dibuktikan salah.
Menurut Karl Raimund Popper, semua hukum itu alam, malahan segala teori ilmu alam pun, tidak pernah dapat mencapai lain kedudukan dari hipotesis, yaitu percobaan saja dan selama usaha agar hipotesis-hipotesis yang bersangkutan dibuktikan salah dapat terjadi, selama itu pula ilmu alam berkembang dan disempurnakan. Popper berpendapat demikian karena, suatu hipotesis bila terbukti salah, maka harus ditinggalkan dan diganti dengan hipotesis yang baru. Kedua jika salah satu usur hipotesis ternyata dibuktikan salah, maka unsur tersebut ditinggalkan dengan mempertahankan inti hipotesis untuk disempurnakan. Terakhir sebuah hipotesis masih bertahan sebelum dapat dibuktikan salah.

B. PENGETAHUAN
Banyak pihak yang menyatakan bahwa hanya jenis pengetahuan tertentu yang benar-benar layak disebut pengetahuan. Hal yang demikian dilakukan Bertrand Russel ketika mengkhususkan kata ini hanya untuk pengetahuan sains, sedangkan yang lain dianggap mendekati ilmiah.
Meskipun pernyataan Russel ini terdengar masuk akal, namun bertentangan dengan maksud Epistemologis, sebab Russel mengambil keputusan dengan meyakini keunggulan sains diatas pengetahuan yang lain. Sebaliknya, filsafat pengetahuan adalah keterbukan macam-macam makna “pengetahuan”. Membuka setiap kemungkinan serta setiap cara-cara memperoleh pengetahuan disebut “pengetahuan”.
Setidaknya segala peradaban di dunia ini ada karena pengetahuan, baik itu pengetahuan tentang alam, atau pun perenungan. Para filsuf terdahulu megawali filsafat melalui perenungan untuk mencari hakikat kebenaran, di masa itu kebenaran masih bersifat relatif (individu). Banyak cara dalam memperoleh pengetahuan, baik dengan pemikiran Rasionalisme, Empirisme, Strukturalisme, dan lain-lain. Selain bentuk pemikiran, terdapat pula pola dalam menjelaskan hasil berpikir sesuai gejala yang timbul.

1.      Kebenaran Pengetahuan
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang kebenaran (Surajiyo, 2008) antara lain sebagai berikut :
1.      The correspondence theory of truth (Teori Kebenaran Saling Berkesesuian). Berdasarkan teori pengetahuan Aristoteles yang menyatakan bahwa kebenaran itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud dengan faktanya.
2.      The Semantic Theory of Truth (Teori Kebenaran berdasarkan Arti). Berdasarkan Teori Kebenaran Semantiknya Bertrand Russell, bahwa kebenaran (proposisi) itu ditinjau dari segi arti atau maknanya.
3.      The consistence theory of truth (Teori Kebenaran berdasarkan Konsisten). Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
4.      The pragmatic theory of truth (Teori Kebenaran berdasarkan Pragmatik). Yang dimaksud dengan teori ini ialah bahwa benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata tergantung kepada faedahnya bagi manusia dalam kehidupannya.
5.      The Coherence Theory of Truth(Teori Kebenaran berdasarkan Koheren) Berdasarkan teori Koherennya Kattsoff (1986) dalam bukunya Element of Philosophy, bahwa suatu proposisi itu benar, apabila berhubungan dengan ide-ide dari proposisi terdahulu yang benar.
6.      The Logical Superfluity of Truth (Teori Kebenaran Logis yang berlebihan). Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Ayer, bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan berakibatkan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logis yang sama dan masing-masing saling melingkupi.
7.      Teori Skeptivisme, suatu kebenaran dicari ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
8.      Teori Kebenaran Nondeskripsi. Teori yang dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme, yang menyatakan bahwa suatu pernyataan mempunyai nilai benar tergantung pada peran dan fungsi dari pada pernyataan itu.

Kebenaran dapat dibuktikan secara : Radikal (Individu), Rasional (Obyektif), Sistematik (Ilmiah), dan Semesta (Universal). Andi Hakim Nasution dalam bukunya Pengantar ke Filsafat Sains, bahwa kebenaran mempunyai tiga tingkatan, yaitu haq al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan ‘ilm al-yaqin. Adapun kebenaran menurut Anshari mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1)      Kebenaran wahyu,
2)      Kebenaran spekulatif filsafat,
3)      Kebenaran positif ilmu pengetahuan,
4)      Kebenaran pengetahuan biasa.
Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah.

2.      Terjadinya Pengetahuan
Ada lima sumber pengetahuan:
1)      Otoritas, yang terdapat dalam enseklopedi, buku teks yang baik, rumus, dan tabel;
2)      Common sense, yang ada pada adat dan tradisi;
3)      Intuisi yang berkaitan dengan perasaan ;
4)      Pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman;
5)      Pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah.
Menurut John Hospers dalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis, mengemukakan ada enam alat untuk memperoleh pengetahuan, yaitu :
1)      Pengalaman Indra (sense experience)
2)      Nalar (reason)
3)      Otoritas (authority)
4)      Intuisi (Intuition)
5)      Wahyu (revelation)
6)      Keyakinan (faith)
C. ILMU
 Dalam ilmu, orang berusaha mematangkan pengetahuan dengan memenuhi tolak ukur yang sesuai. Hal ini merupak sebuah cara dalam merumuskan tujuan penyelidikan ilmiah. Dalam memperoleh ilmu hendaknya tahu terlebih dari dahulu. Hal ini dikarenakan ilmu muncul akibat keragu-raguan yang dipikir secara reflektif. Pemikiran secara reflektif ini disebut pengetahuan yang dapat berubah menjadi ilmu jika dilakukan penyelidikan atau pembuktian secara ilmiah. Contohnya dalam tata surya, orang terdahulu menganggap matahari mengelilingi bumi, pernyataan seperti ini disebut pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman. Pernyataan diatas masih memdapatkan pertimbangan karena belum terbukti secara ilmiah,  ketika kenyataannya berbeda dan dapat dibuktikan secara ilmiah bisa disebut sebagai pengetahuan dan ilmu. Dalam studi ilmiah disebut Ilmu  Astronomi.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah merupakan sekumpulan pegetahuan yang disusun secara konsisten serta teruji kebenarannya secara empiris dalam  menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia untuk melakukan tindakan dalam menguasai gejala tersebut sesuai penjelasan yang ada.
Dengan definisi demikian, maka akan timbul pertanyaan? Apakah pengetahuan yang teruji secara ilmiah namun tidak bisa dijadikan sebuah ketetapan dapat dikatakan ilmu? Ilmu menurut pengertian secara umum ialah semua pengetahuan yang dapat diuji kebenarannya serta pasti. Bagaimana dengan sejarah? Apakah itu termasuk dalam golongan ilmu atau humaniora? Hal seperti sejarah sulit sekali dicari kebenarannya, sebab penggunaan data sejarah sering kali merupakan penuturan orang, bisa saja orang itu berbohong.



DAFTAR PUSTAKA
Dirdjosisworo, Soedjono. 1985. Pengantar Epistemologi dan Logika. Bandung: Remaja Karya.
Gie, The Liang. 2012. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogakarta: Liberty Yogyakarta.
Hadi, Hardono. 1994. Epistemologi Filasafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius,
Surjiyo. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.


Popular posts from this blog

Makalah Kelas Osteichthyes

Makalah Anatomi Bunga

Makalah Etnobotani Pemanfaatan Tanaman sebagai Sandang