Makalah Dampak Perubahan Lingkungan Terhadap Serangga
MAKALAH
DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN TERHADAP HEWAN: PENGARUH PEMANASAN
GLOBAL TERHADAP
SERANGGA
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah ekologi hewan
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
Ismi Anni Aslikhah
(13620055)
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAIN DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan taufik, hidayah serta inayah-Nya, sehingga semua
pembaca masih bisa beraktifitas sebagaimana mestinya, begitupun dengan
penyususun makalah ini. Sehingga dapat tersusun makalah dengan judul “Dampak
Perubahan Lingkungan pada Hewan: Pengaruh Pemanasan Global Terhadap serangga”.
Makalah ini berisi tentang penjelasan, pemanasan
global, tentang factor yang mempengaruhi kehidupan serangga yang terdiri dari
factor fisis, dan sebagainya, serta beridi dampak yang ditimbulkan dari
pemanasan global.
Terimakasih
penyususn ucapkan kepada rekan seperjuangan yang telah membantu, baik langsung
berupa perbuatan dan juga tak langsung berupa doa untuk penyusunan makalah ini,
sehingga dapat terselesaikan tepat waktu. Paling utama terimakasih penyusun
ucapkan kepada dosen mata kuliah ekologi hewan, xxxxxx yang telah membimbing
penyusun sehingga makalah ini dapat tersususn denga insyaallah baik dan benar.
Harapan
penyusun, dengan tersusunnya makalah “Dampak Perubahan Lingkungan pada Hewan: Pengaruh Pemanasan Global
Terhadap serangga” dapat memberikan manfaat, serta memperluas
pengetahuan tentang pembahasan
tersebut tersebut untuk pembaca dan penyusunnya. Kemudian,
penyusun kembali pada fitrah manusia yang tak pernah lepas dari salah dan dosa
juga jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu pula penyusun meminta maaf bila
terdapat kekurangan dalam makalah ini. Tak lupa untuk memperbaiki kesalahan dan
kekurangan dalam makalah ini penyususn juga meminta kritik dan saran atas
makalah ini.
Malang, 05 April 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Organisme adalah sekumpulan molekul yang saling memenuhi sedemikian
sehingga berfungsi secara stabil dan memiliki sifat hidup. Organisme mempunyai
ciri yang umum yang banyak terdapat pada organisme. Diantara ciri itu adalah
bernafas, bergerak, tumbuh, berkembang biak, peka terhadap rangsang berdaptasi,
memerlukan makan dan mengeluarkan zat sisa. Diantara banyak organisme terdapat
hewan didalamnya.
Hewan atau disebut juga binatang adalah sekelompok organisme yang
diklasifikasikan ke dalam kingdom animalia yang merupakan salah satu dari
makhluk hidup yang ada di bumi. Hewan dalam pengertia sistematika modern
mencakup hanya kelompok bersel banyak dan terorganisasi dalam fungsi-fungsi
yang berbeda. Hewan dibagi dalam berbagai golongan salah satunya adalah
serangga atau insekta.
Serangga adalah salah satu
kelas avertebrata dalam filum arthropoda yang mempunyai eksoskeleton berkitin,
tubuh yang terbagi menjadi tiga bagian(kepala, thorax, dan abdomen), tigapasang
kaki yang pangkalnya menyatu, mata majemuk dan sepasang antena. Serangga
merupakan hewan beruas yang tingkat adaptasinya yang sangat tinggi. Ukuran serangga
relatif kecil dan pertama kali sukses berkolonisasi di bumi. Serangga termasuk
salah satu kelompok hewan yang sangat beragam, mencakup lebih dari satujuta
spesies dan menggambarkan lebih dari setengah organisme hidup yang telah
diakui.
serangga merupakan hewan yang mempunyai beberapa factor
yang dapat mempengaruhi kehidupannya. Salah satu faktornya adalah suhu. Dewasa
ini, isu global warming banyak dibicarakan. Global warming atau pemanasan
global adalah meningkatnya suhu
rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Selama kurang lebih seratus tahun
terakhir, suhu rata-rata di permukaan bumi telah meningkat 0.74±0.18oC.
meningkatnya suhu rata-rata di permukaan bumi yang terjadi adalah akibat
meningkatnya emisi gas rumah kaca, seperti; karbondioksida, metana, dinitro
oksida, hidrofluoro karbon, perfluorokarbon, dan sulfur heksafluorida di
atmosfer. Emisi ini dihasilkan dari proses pembakaran terutama bahan bakar
fosil(minyak bumi dan batu bara) serta akibat penggundulan dan pembakaran
hutan. Berdasarkan pemaparan di atas, maka makalah ini disusun dengan
tujuan untuk mengetahui dampak pemanasan global pada serangga.
1.2.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah dengan topik
dampak perubahan lingkungan pada hewan adalah:
1.
Apa yang dimaksud pemanasan global?
2.
Apa factor-faktor yang mempengaruhi jumlah kehidupan seranga?
3.
Apa pengaruh pemanasan global terhadap kehidupan
serangga?
3.1.
Tujuan
Tujuan
dari makalah dengan topik dampak perubahan lingkungan terhadap hewan adalah,
sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud pemanasan global?
2.
Apa factor-faktor yang mempengaruhi jumlah kehidupan seranga?
3.
Apa pengaruh pemanasan global terhadap kehidupan
serangga?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pemanasan Global
Pemanasan global, biasa disebut juga global
warming adalah meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi.
Selama kurang lebih seratus tahun terakhir, suhu rata-rata di permukaan bumi
telah meningkat 0.74±0.18oC. meningkatnya suhu rata-rata di
permukaan bumi yang terjadi adalah akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca,
seperti; karbondioksida, metana, dinitro oksida, hidrofluoro karbon, perfluorokarbon,
dan sulfur heksafluorida di atmosfer. Emisi ini dihasilkan dari proses
pembakaran terutama bahan bakar fosil(minyak bumi dan batu bara) serta akibat
penggundulan dan pembakaran hutan.
Beberapa tahun terakhir, ada banyak isu
mengenai dampak dari pemanasana global atau global warming. Beberapa dampak
yang terasa diantaranya suhu udara yang semakin meningkat dan iklim yang tidak
menentu. Kodisi tersebut tidak hanya menyebabkan kondisi tidak nyaman bagi
kesehatan manusia, tetapi juga berdampak pada kehidupan makhluk hidup secara
global. Secara umum, pemanasan global merupakan kejadian yang disebabkan oleh
peningkatan suhu rata-rata lapisan atmosfer, suhu air laut, dan suhu daratan. Peningkatan
suhu tersebut berasal dari peningkatan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan
dari kegiatan manusia sehari-hari. Gas rumah kaca adalah gas-gas di udara yang
biasa menyerap panas, sehingga keberadaanya dapat meningkatkan suhu udara
dibumi. Berikut beberapa faktor utama penyebab meningkatnya emisi gas rumah
kaca yang terbentuk.
a.
Asap kendaraan bermotor, gas CO2 yang
dihasilkan dari kendaraan bermotor, dapat menjadi penghalang pemantulan panas
bumi.
b.
Alih fungsi lahan, penebangan pohon secara besar-besaran
oleh para pelaku illegal logging semakin menambah permasalahan lingkungan.
Pasalnya, poho yang berperan dalam menyerap gas CO2 dan menyuplai
udara segar kini keberadaannya semakin berkurang. Selain aksi illegal logging
area hutan saat ini juga banyak beralih fungsi menjadi lahan perkebunan
komersial, lahan pertambangan, dan industri.
c.
Limbah ternak yang tidak terolah dengan baik,
gas-gas yang dihasilkan dari limbah ternak, terutama metana, memiliki potensi
pemanasan global lebih tinggi dibandingkan dengan karbondioksida.
d.
Emisi karbon yang berlebih, karbondioksida(CO2)
merupakan salah satu faktor penyebab pemanasan global. Eisi Co2
ditingkat global, regional, nasional, dan lokal, terus meningkat setiap
tahunnya. Secara umum peningkatan emisi CO2 terjadi karena kegiatan
manusia, seperti penggunaan bahan bakar fosil, perubahan tataguna lahan,
industri, dan kebakaran hutan.
Para ilmuan menggunakan medel
computer dari suhu, pola
presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan
model tersebut, para ilmua telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak
memanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian
kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia. Berikut ini dampak dari pemanasan
global menurut para ilmua:
1.
Iklim mulai tidak stabil.
Diperkitakan
bahwa pada menasan global, daerah bagian utara, belahan bumi utara akan memanas
lebih dari daerah-daerah lain di bumi. Akibatnya, gunung gunung es akan
mencair, dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung
diperairan utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju
ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan didaerah
subtropis, bagian yang tertutpi salju akan semakin sedikit, serta akan lebih
cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Suhu pada musim
dingin dan malam hari cenderung meningkat.
Daerah yang
hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari
lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembapan tersebut malah akan
meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disedabkan
karena uap air merupaka gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan
meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air lebih banyak
juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya
matahari akan kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses
pemanasan. Kelembapan yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara
rata-rata, sekitar 1% untuk setiap oF pemanasan. Curah hujan
diseluruh dunia telah meningkat sebesar 1% dalam seratus tahun terakhir ini.
Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari
tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin
akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai
yang memperoleh kekuatan dari penguapan air, akan menjadi lebih besar.
Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin
mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan menjadi lebih
ekstrim.
2.
Peningkatan permukaan air laut.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan
lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan
tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub
terutama sekitar greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi
muka laut diseluruh dunia telah mencapai 10-25cm selama abad ke-20, dan para
ilmuan IPCC memprediksipeningkatan lebih lanjut 9-88cm pada abad ke 21. Banyak
sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai.
3.
Suhu global cenderung meningkat.
Banyak yang beranggapan bahwa bumi yang hangat
akan menghasilkan banyak makanan dari sebelumnya, namun hal ini tidak sama di
beberapa tempat. Sebagai contoh, mugkin akan diuntungkan dengan lebih tingginya
curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di pihak lain, lahan pertanian tropis
kering diwilayah afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah gurun yang
menggunakan air irigasi dari gunung-gunung akan menderita jika terjadi musim
dingin, yang bervungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak
masa tanam. Tanaman pangan dan hutan
dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
4.
Gangguan ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidp yang sulit
menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai
manusia. Dalam pemanasan global hewan bencerung akan bermigrasi ke arah kutub
atau ke arah pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari
daerah baru karena habitat lamanya menjadi hangat. Akan tetapi perpindahan
manusia akan menghalangi perpindahah ini. Spesies-spesies yang bermigrasi
kewilayah utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan
pertanian mungkina akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara
cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada
penyebaran penyakit melalui air, meupun penyebaran penyakit melalui vektor.
Seperti meningkatkan kejadian demam berdarah karena munculnya ruang baru untuk
nyamuk berkembang biak. Dengan perkembangan iklim ini akan ada beberapa vektor
penyakit, virus, bakteri, akan menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu
yang targetnya adalah organisme tersebut. Selain itu bisa dipresiksikan
beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan
perubahan ekosistem yang ekstrem ini. Hal ini juga dapat berdampak pada iklim
yang akan berdampak yang bisa berdampak pada peningkatan kasus penyakit
tertentu seperti ISPA.
2.2. Serangga
Serangga
adalah salah satu kelas avertebrata dalam filum arthropoda yang mempunyai
eksoskeleton berkitin, tubuh yang terbagi menjadi tiga bagian(kepala, thorax,
dan abdomen), tigapasang kaki yang pangkalnya menyatu, mata majemuk dan
sepasang antena. Serangga merupakan hewan beruas yang tingkat adaptasinya yang
sangat tinggi. Ukuran serangga relatif kecil dan pertama kali sukses
berkolonisasi di bumi. Serangga termasuk salah satu kelompok hewan yang sangat
beragam, mencakup lebih dari satujuta spesies dan menggambarkan lebih dari
setengah organisme hidup yang telah diakui. Serangga dapat ditemukan hampir
semua lingkungan, meskipun hanya sebagian kecil yang hidup dilautan.
Serangga
termasuk dalam kelas insekta(sub filum uniramia) yang dibagi menjadi 29 ordo,
antara lain Diptera (misalnya lalat), Coleoptera (misalnya kumbang),
Hymenoptera (misalnya semut lebah dan tabuhan), dan Lepidoptera (misalnya
kupu-kupu dan ngengat). Kelompok Apterigota terdiri dari 4 ordo karena semua
serangga dewasanya tidak mempunyai sayap, dan 25 ordo lainnya termasuk dalam
kelompok pterigota karena mempunyai sayap.
Resistensi
lingkungan adalah keadaan kondisi lingkungan yang menghambat aktifitas hidup
maupun pertumbuhan populasi serangga atau dapat dikatakan resistensi lingkungan
adalah semua komponen atau faktor lingkungan, baik secara tunggal atau
bersama-sama bekerja menghambat. Resistensi ingkungan untuk tiap-tiap serangga
berdeda-beda, dan komponen resistensi lingkunga dipengaruhi oleh:
2.2.1.
Faktor fisis
Faktor-faktor antara lain meliputi suhu,
cahaya/matahari, kelembapan udara, angin, cuaca/iklim(curah hujan dan lainnya).
Penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:
a.
Suhu, merupakan faktor lingkungan yang
menentukan/mengatur aktivitas hidup serangga. Pengeruh ini jelas terlihat pada
proses fisiologis serangga, yaitu bertindak sebagai faktor pembatas kemampuan
hidup serangga. Pada suatu suhu tertentu aktivitas hidup serangga tinggi
(sangat aktit), sedangkan pada suhu yang lain aktivitas serangga rendah (kurang
aktif). OIeh karena itu terdapat zona-zona/ daerah suhu yang membatasi aktivitas kehidupan serangga. Zona-zona tersebut (untuk daerah tropis) adalah:
1.
Zone batas fatal atas, pada suhu tersebut serangga
telah mengalami kematian, yaitu pada suhu > 48°C.
2.
Zone dorman atas, pada suhu ini aktivitas (organ
tubuh eksterna) serangga tidak efektif, yaitu pada suhu 38 — 45°C.
3.
Zone efektifatas, pada suhu ini aktivitas serangga
efektif pada suhu 29 — 38°C.
4.
Zone optimum, pada suhu ± 28°C, aktivitas serangga
adalah paling tinggi.
5.
Zone efektif bawah, pada suhu ini aktivitas (organ
interna dan eksterna) serangga efektif, yaitu pada suhu 27 — 15°C.
6.
Zone dorman bawah, pada suhu ini tidak ada
aktivitas eksterna, yaitu pada suhu 15°C.
7.
Zone fatal bawah, pada suhu ini serangga telah
mengalami kematian ( ±4° C).
b.
Cahaya, Pengaruh serangga terhadap cahaya tidak
begitu berbeda dengan reaksi terhadap suhu. Sering sukar untuk menentukan
apakah pengeruh yang terjadi itu akibat cahaya atau suhu, karena kedua faktor tersebut
biasanya sangat erat hubugannya dan bekerja secara singkron.
Beberapa kegiatan serangga dipengaruhi oleh respon cahaya, sehingga timbul
sejenis serangga yang aktif pada pagi hari, siang, sore dan malam hari. Cahaya
matahari ini mempengaruhi aktifitas dari distribusi lokalnya. Dijumpai
serangga-serangga yang aktif pada saat adanya cahaya matahari, dan dijumpai
serangga-serangga yang aktif pada keadaan gelap.
Pengaruh merangsang dari cahaya
terhadap serangga digambarkan oleh Graham (1967) dengan contoh reaksi
Chrysobothrys dewasa. Kumbang ini tetap tinggal inaktif pada hari-hari yang
mendung (penuh awan) walaupun suhunya pada waktu itu sangat tinggi, bahkan
lebih tinggi daripada suhu pada hari-hari cerah pada suhu kumbang tersebut
aktif. Juga Carpenter pada tahun 1909 menunjukkan bahwa kejang otot pada
Drosophila yang biasanya terjadi pada suhu 390 C, karena terpengaruh cahaya
kuat 480 candle (lilin).
Meskipun species serangga tertentu tidak tahan juga terhadap cahaya kuat,
tetapi kemungkinannya jarang terjadi bahwa cahaya di alam akan berpengaruh
sampai pada batas toleransi species serangga pada umumnya. Tetapi suatu
kenyataan dapat dilihat bahwa ada tidaknya cahaya sedikit banyak akan
mempengaruhi penyebaran lokal dan jenis-jenis serangga tersebut. Bahwa cahaya
berpengaruh terhadap serangga yang akan bertelur, dikemukakan Chapman dalam
Suithoni (1978) dengan contoh penggerek Agrilus bilineatus yang lebih
senang meletakkan telurnya pada bagian batang pohon yang terkena cahaya
matahari penuh. Jenis ulat tanah (Agrotis sp.), jangkrik (Grylius
bimaculatus), gangsir (Brachytrypes portentosus) dan sebagainya,
menyerang tanaman dan aktif pada malam hari, begitu pula jenis-jenis siput.
Hama Helopeitis menyukai keadaan terang, yaitu siang hari, sedangkan hama-hama
gudang menyukai keadaan gelap. Respon serangga terhadap cahaya dapat bersifat
positif atau negatif, yang ditunjukkan oleh species-species serangga nocturnal
(aktif pada malam hari). Serangga berespon positif apabila mendatangi sumber
cahaya, sedangkan serangga berespon negatif apabila tidak terpengaruh oleh
adanya cahaya. Pengetahuan tentang respon serangga terhadap cahaya dapat
dipergunakan antara lain untuk:
1.
Pengamatan senangga hama
(Monitoring) Pengamatan serangga hama dengan menggunakan lampu perangkap atau
dengan suatu alat tertentu yang mempunyai warna dengan panjang gelombang
tertentu. Misalnya serangga Aphis menyukai warna kuning.
2.
Pengendalian/ pemberantasan
serangga hama Penggunaan obor/ api atau perangkap cahaya (light trap) dapat
untuk mengurangi kepadatan populasi hama wereng, walang sangit dan serangga
hama lain yang tertarik cahaya.
c.
Kelembapan, Seperti halnya mahluk hidup lain, maka
penyebaran serangga dan perkembangan hidup serangga sangat bergantung oleh
adanya air didalam lingkungan hidupnya. Efektivitas dari suhu di dalam
merangsang kecepatan perkembangan hidup serangga juga dipengaruhi oleh kelembaban
yang ada. Dalam keadaan lembab yang sesuai serangga tersebut tidak begitu peka terhadap pengaruh suhu yang
ekstrim
Di dalam hal kelembaban inipun didapati kelembaban optimum ataupun daerah
kelembaban yang efektif. Daerah lembab yang ekstrim yang menyebabkan kematian
tidak begitu jelas dapat ditandai seperti halnya suhu. Dalam keadaan normal
peningkatan atau pengurangan kelembaban tidak mengakibatkan matinya serangga
dengan cepat, tetapi hanva berpengaruh terhadap
aktivitasnya. Walaupun demikian ada pula species serangga tertentu yang
menyimpang dari ketentuan tersebut di atas, karena aktivitasnya sangat dibatasi
oleh faktor kelembaban. Ada species-species yang hanya dapat hidup pada kayu
yang basah atau lembab (famili Scolytidae, Cerambycidae dan Platypodidae) dan
ada species serangga yang dapat hidup pada kayu yang sudah kering (famili
Lyctidae, Bostrychidae, Anobiidae) dan rayap kayu kering (famili
Kalotermitidae).
Tubuh serangga mengandung 80 — 90 % air, dan harus dijaga agar tidak
mengalami banyak kehilangan air yang dapat mengganggu proses fisiologinya.
Ketahanan serangga terhadap kelembaban bervariasi. Ada serangga yang mampu
hidup dalam suasana kering tetapi adapula yang hidupnya di dalam air. Biasanya
serangga tidak tahan mengalami kehilangan air yang terlalu banyak, namun ada
beberapa serangga yang mempunyai ketahanan karena dilengkapi dengan berbagai
alat pelindung untuk mencegah kehilangan air tersebut, misalnya kutikula yang
dilapisi lilin.
Adanya curah hujan akan menambah kelembaban dan mempengaruhi vegetasi
tanaman yang dibudidayakan. Hal ini mendorong keadaan yang cocok untuk
perkembangan serangga hama, karena ketersediaan makanan yang cukup. Tidak semua
jenis serangga mengalami perkembangan pada musim hujan, dan sebaliknya
serangga-serangga tertentu pada musim hujan mengalami kematian.
Serangga-serangga yang berkembang biak pada musim kemarau, misalnya jenis kutu
tanaman (ordo Homoptera) karena pengaruh hujan yang berupa butiran-butiran air
merupakan tenaga mekanis dapat mematikan serangga ini.
d.
Angin, akan membantu penyebaran serangga,
terutama serangga yang berukuran kecil. Secara tidak Iangsung angin juga
mempengaruhi kandungan air dalam tubuh serangga, karena angin mempercepat
penguapan dan penyebaran udara.
e.
Cuaca/iklim, di dalam memperhatikan pengaruh dan
suhu, cahaya atau kelembaban terhadap kehidupan species serangga yang berada di
dalam hutan, tidak boleh dilupakan bahwa kenyataannya ketiga faktor tersebut
bekerjasama saling mempengaruhi. Bahkan faktor iklim yang lain, misalnya
panas dan sirkulasi udara ikut berperanan di dalamnya. Pengaruh-pengaruh itu
bersama-sama disebut pengaruh cuaca atau iklim. Cuaca merupakan kerjasama dan
semua faktor fisis yang terdapat di lingkungan hidup suatu organisme pada
sesuatu saat, sedang iklim pada jangka waktu yang relatif panjang. Kalau cuaca
berubah dan suatu waktu ke waktu yang lain, sedang iklim menunjukkan
sifat-sifat yang tetap untuk suatu daerah.
2.2.2.
Faktor makanan
Makanan
merupakan sesuatu yang penting untuk makhluk hidup, begitupun dengan serangga.
Serangga membutuhkan makanan untuk mensuplai kebutuhan nutrisi dalam tubuhnya. Faktor
makanan ini didukung oleh kualitas makanan dan kuantitas atau jumlah makanan sera
faktor fisiologis dari inang atau host.
Diketahui
bahwa setiap spesies serangga tidak ada yang membutuhkan kualitas makana yang
sama. Ada yang mengkinsumsi daun, ada yang mengkonsumsi jaringan katu dan ada
yang mengkonsumsi jaringan phoem. Variasi kebutuhan pangan ini terjadi pada
spesies yang berbeda , pada stadium/pereode perkembangan yang berbeda dalam
satu spesies, maupun pada umur yang berbeda.
. Species serangga hama akan makin banyak variasinya
apabila makin banyak tersedia jenis-jenis tanaman inang yang dapat dipakai
untuk menjadi makanannya. Tegakan hutan yang murni merupakan gudang makanan
yang berlimpah untuk hama tegakan yang bersangkutan. Tiap-tiap species serangga
hama dapat memiliki kisaran inang dan satu sampai banyak inang. Serangga hama
yang memiliki satu jenis inang yang cocok disebut serangga hama monofagus,
apabila mempunyai dua inang atau lebih dan famili yang sama disebut serangga
hama olifagus.
Pohon atau tanaman pada umumnya memiliki sifat-sifat
fisiologis tertentu yang dapat berbeda-beda, sehingga akan menghasilkan produk
yang berlainlainan pula, walau pohon atau tanaman tersebut dari satu jenis yang
sama. Sifat fisiologis yang berbeda itu akan menyebabkan kemampuan untuk
bertahan terhadap serangan hama akan berbeda-beda pula. Aspek-aspek fisiologis
yang berhubungan dengan sifat ketahanan tanaman terhadap gangguan hama antara
lain adalah kecepatan tumbuh, dimana
pohon yang lebih cepat tumbuh akan tahan terhadap serangan serangga dbandingkan
dengan pohon sejenis yang tumbuhnya lambat. Kemusian sifat daun, tebalnya
jaringan pada daun menyitkan serangga untuk memkannya, juga adanya bulu-bulu
daun yang tebal dan rapat sehingga mulut serangga sulit untuk mencapai jaringan
daun, juga adanya lapisan lilin akan mempersukar pengrusakan.
2.2.3.
Faktor hayati
Faktor biotis
tersebut mencakup:
1.
Kompetisi intraspesifik, Kompetisi ini terjadi
karena kepadatan populasi yang sedemikian rupa tingginya, sehingga kebutuhan
akan makanan, tempat tinggal dan kebutuhan hidup lain dari populasi tersebut
menjadi di luar kemampuan daya dukung alam Iingkungannya untuk menyediakan atau
mendukung kelangsungan hidup populasi tersebut. Akibatnya individu yang
lemah akan tertekan atau mati, atau meninggalkan tempat tersebut pergi ke
tempat lain, dan bahkan kondisi demikian dapat rnendorong terjadinya
kanibalisme.
2.
Kompetisi interspesifik, Kompetisi ini disebabkan oleh:
a.
Predatisme. Predatisme
merupakan peristiwa yang disebabkan oleh adanya organisme binatang yang
bersifat predator memakan mangsanya (prey) berupa serangga hama. Untuk
menyelesaikan sebagian dan siklus hidupnya predator tersebut memerlukan lebih
dan satu mangsa. Predator memiliki Universitas Gadjah Mada ukuran tubuh lebih
besar dan lebih kuat daripada mangsanya dan dapat bergerak aktif Contoh-contoh
predator dan golongan serangga yang penting adalah dan ordo-ordo Odonata,
Coleoptera. Hemiptera dan Orthoptera, dan contoh dari golongan bukan serangga
seperti burung, binatang melata dan labah-labah (spider).
b.
Parasitisme. Parasitisme
adalah suatu peristiwa yang disebabkan adanya organisme binatang yang bersifat
parasit. Parasitoid adalah golongan binatang yang hidupnya menumpang di luar
atau di daam tubuh binatang lain/ inang. Untuk hidupnya parasit ini menyerap
cairan tubuh inang sehingga dapat mematikan inangnva secara perlahan-lahan.
Biasanya parasit ini berukuran Iebih kecil daripada inangnya dan untuk
menyelesaikan sebagian dan siklus hidupnya satu individu parasit hanya
memerlukan satu individu inang. Sebagian siklus hidup parasit tersebut adalah
stadium larva. Parasit dapat menyerang dan berkembang dalam fase hidup serangga
hama, misalnya parasit pada telur, parasit larva/ nimfa, parasit kepompong
(pupa) dan parasit serangga dewasa. Antara parasit dan inang mempunyai hubungan
erat, yaitu inang sebagai sumber makanannya. Contoh parasit yang penting adalah
anggota-anggota dan ordo Hymenoptera parasitik dan lalat Tachinid dan ordo
Diptera.
c.
Penyakit (patogen)
serangga. Serangga hama dapat terinfeksi oleh penyakit yang disebabkan oleh
penyebab penyakit (patogen), seperti bakteri, virus, jamur, protozoa, rickettsia.
Contoh-contoh patogen hama yang penting adalah Baccilius thuringiensis,
Metarhirium anisopliae, Beauveria bassiana. Patogen dapat masuk ke dalam tubuh
inangnya dengan jalan merusak integumen, melalui mulut spirakulum, anus atau
melalui lubang masuk yang lain. Umumnya patogen (penyebab penyakit) masuk ke
dalam tubuh rnelalui mulut atau aat pencernaan.
2.2.4.
Faktor manusia
Aktivitas
manusia baik langsung ataupun tidak langsung dapat mempengarui kehidupan
serangga baik langsung ataupun tidak langsung.
2.3. Dampak
pemanasan global terhadap populasi serangga
Sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa pemanasan global mengakibatkan
penyebaran hama tanaman menuju arah Utara dan Selatan semakin sering terjadi,
penyebaran hama ini terjadi hampir di setiap daerah dengan kecepatan hampir 3
kilometer per tahunnya.
Sebuah penelitian yang
diterbitkan dalam jurnal Nature Climate Change dan dilakukan oleh para peneliti
di University of Exeter dan Universitas Oxford, menunjukkan sebuah hubungan
yang kuat antara suhu global yang meningkat selama 50 tahun terakhir dan
ekspansi berbagai hama tanaman.
Pada saat ini sekitar 10-16%
dari produksi tanaman (terutama pangan) global terserang hama. Hama tanaman
yang menyerang yaitu jamur, bakteri, virus, serangga, nematoda, viroid dan
Oomycetes. Keragaman serta strain hama tanaman pun terus berkembang. Kerugian
akibat hama tanaman berupa jamur dan mikroorganisme, jumlahnya cukup untuk
memberi makan hampir sembilan persen dari populasi dunia saat ini. Studi ini
menunjukkan bahwa angka-angka ini akan meningkat terus-menerus jika suhu global
terus meningkat seperti yang diperkirakan.
Penyebaran hama pada tanaman
disebabkan oleh aktivitas manusia (terutama hasil dari pengangkutan kargo
internasional) dan proses alami. Namun dalam studi ini menunjukkan bahwa
pemanasan iklim memungkinkan hama semakin mudah untuk beradaptasi di daerah
yang sebelumnya tidak cocok.
Sebagai contoh, kenaikan suhu
umumnya merangsang serangga herbivora di daerah subtropis, pada daerah ini
wabah kumbang pinus (Dendroctonus ponderosae) telah menghancurkan sebagian
besar wilayah hutan pinus di Pacific Northwest, Amerika Serikat. Selain itu,
rice blast fungus pada padi yang saat ini sudah menyebar di lebih dari 80
negara, dan memiliki efek yang besar, baik pada ekonomi maupun keseimbangan
ekosistem, kini telah berpindah ke tanaman pangan lainnya yaitu gandum. Jenis
jamur ini dianggap sebagai penyakit baru pada gandum (wheat blast), dimana
penyakit ini mengurangi hasil panen gandum di Brasil secara signifikan.
Salah satu serangan hama yang
telah terjadi adalah kumbang kentang di Colorado. Kumbang Colorado bergerak ke
utara melewati kawasan Eropa dan memasuki wilayah Finlandia dan Norwegia.
Padahal biasanya kumbang tidak bisa bertahan melewati musim dingin.
Dr. Dan Bebber dari University
of Exeter mengatakan: “Jika penyebaran hama tanaman akibat pemanasan global
terus terjadi ditambah efek pertumbuhan jumlah penduduk dunia yang tak bisa
ditekan akan menjadi ancaman keamanan pangan global.
Dampak Penyebaran hama tanaman
akibat Pemanasan Global bagi Indonesia
Di Indonesia sendiri yang termasuk negara dengan iklim tropis, dipekirakan juga akan mengalami penurunan produktivitas pertanian khususnya tanaman padi, bila kenaikan suhu rata-rata global antara 1-2 oC sehingga meningkatkan resiko bencana kelaparan di Indonesia.
Di Indonesia sendiri yang termasuk negara dengan iklim tropis, dipekirakan juga akan mengalami penurunan produktivitas pertanian khususnya tanaman padi, bila kenaikan suhu rata-rata global antara 1-2 oC sehingga meningkatkan resiko bencana kelaparan di Indonesia.
Penurunan produktivitas pangan
merupakan dampak nyata yang harus dihadapi Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya peningkatan sterilitas serealia, penurunan areal
yang dapat diirigasi dan penurunan efektivitas penyerapan hara serta penyebaran
hama dan penyakit. Selain itu, pergeseran musim juga ikut berpengaruh pada
penurunan produktivitas. Pemanasan global juga akan menimbulkan peningkatan
intensitas kejadian iklim ekstrim (El-Nino dan La-Nina) dan ketidakteraturan
musim.
Perkembangan hama dan penyakit
sangat dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Fluktuasi suhu dan kelembaban
udara yang semakin meningkat yang akan mampu menstimulasi pertumbuhan dan
perkembangan organisme pengganggu tanaman, baik hama maupun penyakit. Sehingga
tidak jarang kalau pada musim hujan petani banyak disibukkan oleh masalah
penyakit tanaman. Hama-hama yang menyerang tanaman padi antara lain; Pengerek
batang padi (scirpophaga innotata) atau lebih dikenal masyarakat dengan
“sundep”, pengerek batang padi (Scirpophaga incertulas), wereng coklat
(Nilaparvata lugens), wereng hijau (Neppotetix impicticeps), ganjur
(Pachydiplosis oryzae), lalat bibit (Arterigona exigua), ulat tentara atau
grayak (Spodoptera litura), dan tikus sawah (Rattus argentiventer). Sedangkan
penyakit-penyakit penting yang menyerang tanaman padi antara lain; blas
(Pyricularia oryzae, p. Gricea) dan hawar daun bakteri atau
“kresek”(Xanthomonas oryzae pv. Oryzae). Ledakan populasi organisme pengganggu
tanaman seperti serangga disebabkan oleh peningkatan konsentrasi CO, yang
berakibat pada penurunan perbandingan unsur Nitrogen dalam tumbuhan. Padahal,
Nitrogen mutlak untuk hidup serangga. Kompensasinya, serangga akan memakan
biomassa tumbuhan yang lebih banyak dan karena siklus hidup serangga yang
pendek, sehingga serangga cepat mewariskan genetika paling sesuai dengan
kondisi iklim kontemporer pada keturunannya termasuk pada racun.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan
daru makalah ini adalah:
1. Pemanasan global,
biasa disebut juga global warming adalah meningkatnya suhu rata-rata atmosfer,
laut dan daratan bumi.
2. Factor-faktor yang mempengaruhi serangga terdiri dari factor
fisis berupa suhu, angin, kelembapan, iklim, cahaya; kemudian factor makanan
berupa kualitas makanan, kuantitas makanan, factor fisiologis dari inangnya;
factor hayati meliputi kompetisi intraspesifik, interspesifik(predatisme,
parasitisme, penyakit) dan juga factor manusia.
3. Dampak dari globalisasi adalah terjadi penyebaran hama, terjadi
beberapa wabah kumbang pinus dan sebagainya.
3.2. Saran
Agar lebih melengkapi lagi baik
dari teori ataupun dari pembasan, juga memperbanyak literature yang dijadikan
rujukan.
DAFTAR PUSTAKA
Borror
et al. 2005. Study of Insect.Ed-7. Amerika: Thomson Brook/ Cole.
Campbell,
N.A,J.B. Reece, dan L.G. Mitchell, 2003. Biologi Edisi Kelima Jilid 2.
ISBN : 979-688-469-0. Jakarta: Erlangga.
Chapman,
A.D. 2006. Numbers of living species in Australia and the
World. Canberra: Australian Biological Resources.
Chapman, R.N, 1939. Insect
Population Problem In Relation To Insect Outbreak. Ecol. Monogr. 9 (3) : 261 –
269.
Graham, S.A. dan F.B Knight, 1967.
Principles Of Forest Entomology. McGrawHill book company. New York, USA
Ramlan, Mohammad. 2002.
Pemanasan Global(Global Warming). Jurnal Teknologi Lingkungan. 3(1).
Hal: 30-32.
Shahabuddin. 2009.
Konsekuensi Biologis Pemanasan Global dan Penekanan Terhadap Interaksi
Serangga-tumbuhan. Biocelebes. 3(2). ISSN: 1978-6417.
Wahyuni, Sri. 2011. Menghasilkan Biogas dari Aneka
Limbah. Jakarta: PT Agro Media Pustaka.